Selasa, Juni 16, 2009

Requiescat In Pace, Semoga Beristirahat Dalam Damai Bagi Politisi Senior Almarhum DR. SUTRADARA GINTINGS


Sutradara Gintings

Sutradara Gintings

Oleh : MEGA SIMARMATA, Pemred

JAKARTA (KATAKAMI) Sungguh sangat tersentak hati kami begitu mengetahui wafatnya Sutradara Gintings, Anggota Komisi I DPR-RI dari Fraksi PDI Perjuangan.

Sutradara Gintings meninggal dunia di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) Jakarta, Minggu dinihari sekitar pukul 00.25 WIB akibat penyakit jantung. Sebelum meninggal, ia sempat dilarikan ke rumah sakit itu pukul 20.00 WIB.

Sutradara Gintings lahir di Karo, Sumatra Utara, 4 Juni 1952. Di dunia politik, Sutradara Gintings semula dikenal sebagai anggota Fraksi Karya Pembangunan (FKP) semasa Orde Baru. Ia juga pernah menjadi pengurus DPP Golkar.

Izinkan kami menyampaikan belasungkawa dan ungkapan duka yang sedalam-dalamnya atas wafatnya SUTRADARA GINTINGS, politisi senior yang sangat pintar, kritis dan begitu peka pada setiap permasalahan bangsa.

1-gintings


Pemimpin Redaksi KATAKAMI Mega Simarmata cukup dekat dengan SUTRADARA GINTINGS semasa hidupnya. Artinya, banyak persoalan di bidang politik, hukum dan keamanan ditanyakan kepada SUTRADARA GINTINGS untuk kami muat menjadi berita.

Satu hal yang sangat berkesan dari SUTRADARA GINTINGS adalah komitmennya yang tinggi untuk upaya penegakan hukum yang konsisten dan penghormatan terhadap hak azasi manusia.

“ONE SHOOT DIE” atau sekali tembak harus mati.

Inilah pandangan Almarhum yang tak akan pernah bisa dilupakan oleh KATAKAMI.

SUTRADARA GINTINGS menyampaikan pendapatnya tentang “ONE SHOOT DIE” tadi, dalam kaitan pelaksanaan eksekusi mati di Indonesia.

Sutradara Gintings & Jeffrey Massie (Rekan Sesama Anggota Komisi I DPR)

Sutradara Gintings & Jeffrey Massie (Rekan Sesama Anggota Komisi I DPR)

Beliau yang mengajari kami untuk terus “mengejar” hal ini kepada aparat penegak hukum dalam pelaksanaan eksekusi mati.

Kami ingin menyampaikan hormat yang tinggi kepada SUTRADARA GINTINGS. Semoga saja ia mengetahui bahwa sebenarnya “tekanan” agar aparat penegak hukum menghormati dan melaksanakan pelaksanaan hukuman mati yang sangat prosedural itu sudah terlaksana. Walaupun nasibnya harus berujung di lokasi penembakan, SUTRADARA GINTINGS concern agar terpidana mati tetap “dihormati” dan tidak “dibantai” dengan begitu banyak peluru tajam.

Atas kritikan dan gencarnya kami menuliskan tentang perlunya pelaksanaan eksekusi mati yang sangat prosedural sesuai ketentuan hukum, didengar dan diakomodir oleh KEJAKSAAN AGUNG sebagai Pihak Eksekutor.

Sejak UU Nomor 2/1964/PNPS Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati dikeluarkan, tidak ada satu pasalpun didalam UU itu yang mengatur berapa jumlah peluru yang bisa digunakan dalam pelaksanaan hukuman mati di Indonesia.

Sketsa Amrozi

Sketsa Amrozi

Kami konsisten menyoroti hal tersebut semata-mata karena mendapat masukan dan “ilmu” dari SUTRADARA GINTINGS.

Perjuangkan penegakan hukum dalam pelaksanaan hukuman mati itu harus mengikuti standar hukum yang berlaku di dunia.

ONE SHOOT DIE maksudnya adalah dari sekian banyak polisi yang tergabung dalam regu tembak, tidak semua yang senapannya berisi peluru tajam sebab hanya 1 peluru tajam yang diperbolehkan STANDAR INTERNASIONAL untuk melaksanakan hukuman mati.

Dan dengan satu peluru tajam itu, terpidana harus MATI.

SUTRADARA GINTINGS concern terhadap hal ini agar jangan ada brutalisme dalam pelaksanaan hukuman mati. Sehingga POLRI harus memilih regu tembak yang sangat cakap dan tinggi kemampuannya dalam hal menembak.

SUTRADARA GINTINGS mengecam jika seandainya dalam pelaksanaan hukuman mati yang menggunakan begitu banyak peluru tajam.

Dan pengaturan tentang jumlah peluru yang secara hukum dibenarkan untuk melaksanakan hukuman mati, harus diatur dalam UU. Atau paling tidak, ada produk hukum setingkat dibawah UU yang mengatur hal itu.

Seandainya masyarakat menyimak sejak setahun terakhir ini tentang pelaksanaan hukuman mati maka kami harus memberitahukan bahwa ada peran atau jasa dari SUTRADARA GINTINGS dalam mendorong penegakan hukum yang sesuai dengan standar hukum internasional dan nilai-nilai kemanusiaan.

Jaksa Agung

Jaksa Agung

Kami berterimakasih secara khusus kepada JAKSA AGUNG HENDARMAN SUPANDJI yang sangat terbuka pada semua saran, kritikan dan masukan. Berbagai analisa, masukan, wawancara, kritikan dan semua informasi terkait pelaksanaan hukuman mati yang kami sampaikan selama ini, ditampung dan dijadikan masukan yang sangat berarti.

Salah satunya adalah masukan tentang ONE SHOOT DIE. Sebagai EKSEKUTOR, Kejaksaan Agung akhirnya memegang teguh prinsip ONE SHOOT DIE ini.

Tak cuma pada pelaksanaan eksekusi mati AMROZI CS (Oktober 2008), dalam beberapa pelaksanaan hukuman mati sebelum Amrozi CS ketetapan tentang ONE SHOOT DIE tadi sudah dilaksanakan secara benar di lapangan.

Hati kami sangat sedih atas kabar duka tentang meninggalnya SUTRADARA GINTINGS. Almarhum adalah narasumber yang sangat membanggakan. Almarhum juga sahabat dan kakak yang sangat peduli serta penuh perhatian.

Sutradara Gintings (Kompas, 2001)

Sutradara Gintings (Kompas, 2001)

Beberapa hari lalu kami masih melakukan kontak lewat SMS.

“Jadi sampai saat ini, KATAKAMI masih diganggu, Meg ?” tanya Almarhum SUTRADARA GINTINGS kepada Pemimpin Redaksi Mega Simarmata baru-baru ini, terkait aksi pengrusakan KATAKAMI bila menyajikan topik tertentu untuk dimuat di KATAKAMI.

“Sampai saat ini masih Bang, tapi hanya untuk tulisan tertentu saja,” terutama tulisan tentang BANDAR NARKOBA LIEM PIEK KIONG alias SI MONAS itu. Biasalah Bang, orang yang patut dapat diduga sebagai BEKING si bandar ini ketakutan dan panik kesetanan,” jawab Mega Simarmata.

Almarhum SUTRADARA GINTINGS termasuk yang sangat rutin dan sangat setia membaca tulisan-tulisan KATAKAMI. Semuanya itu dijadikan bahan masukan bagi tugas-tugasnya sebagai anggota DPR. Kini ia telah berpulang ke pangkuan ILAHI.

Sutradara Gintings

“Selamat Jalan Bang Gintings ! Kami sungguh sangat hormat dan berterimakasih untuk semua pemikiran terbaik dan dukungan selama ini. Ketetapan tentang ONE SHOOT DIE tadi, sudah dilaksanakan Bang. Kami akan sangat kehilangan Bang. Requiescat In Pace, Rest In Peace. Beristirahatlah dalam damai, Bang”.

Dan untuk menghormati serta mengenang Almarhum SUTRADARA GINTINGS, kami muat sebuah tulisan karya MEGA SIMARMATA mengenai pelaksanaan eksekusi mati, yaitu sebuah tulisan yang pernah dimuat di INILAH.COM, media tempat kami bekerja sebelum bergabung di KATAKAMI.COM.

Buah pikiran dari Almarhum SUTRADARA GINTINGS termuat didalamnya.

(MS)


LAMPIRAN :

Nusa Kambangan

ONE SHOOT DIE, SEKALI TEMBAK HARUS MATI !

Dimuat Di INILAH.COM tgl 22 Juli 2008

Mega Simarmata


INILAH.COM, Jakarta – Hukuman mati di Indonesia mengacu ke Belanda. Berlaku sejak 1918. Di Belanda sendiri, hukuman itu sudah ‘mati’ sejak 1870. Nah, lho! Soal lain, selama masih berlaku, eksekusinya harus pas. Sekali tembak harus mati!

Sebagian besar hukum yang berlaku di Indonesia memang peninggalan Belanda. Pengaruhnya begitu kuat. Maklum, Negeri Kincir Angin itu menjajah negeri ini 3,5 abad. Jadi, sangat berurat dan berakar, khususnya di bidang hukum.

Masalahnya, dinamika kehidupan di dunia ini terus berkembang. Perubahan terus terjadi. Itu, tentu, menuntut berbagai penyesuaian. Tak terkecuali di bidang hukum. Lebih khusus lagi, dalam konteks ini, ihwal hukuman mati.

Betulkah hukuman mati memberikan efek jera? Dan, kalaupun hendak terus diberlakukan seperti di sejumlah negara lain, tingkat pelanggaran seperti apa yang layak diganjar dengan hukuman mati? Lalu, teknis hukuman mati yang bagaimana yang dianggap terbaik?

Pertanyaan lain masih berderet. Intinya, pelaksanaan hukuman mati di Indonesia tak henti diperdebatkan. Kental dengan pro kontra. Di tengah situasi itu, dalam dua bulan terakhir, empat WNI (kasus pembunuhan) dan dua warga Nigeria (kasus narkoba) didor aparat.

Abdul Hakim Ritonga, Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) selaku pemutus final hukuman mati di Indonesia, bahkan mengibaratkan dirinya sebagai ‘pembunuh berdarah dingin’.

Jampidum Abdul Hakim Ritonga

Jampidum Abdul Hakim Ritonga

“Sejak Indonesia merdeka,” kata Ritonga kepada INILAH.COM, “sudah 112 orang mendapat vonis mati. Mereka terdiri atas 57 terpidana kasus narkoba, 52 kasus kejahatan umum, dan tiga kasus terorisme.”

Terkait metode hukuman mati, pernah mencuat keinginan mengubah, dari tembak mati ke suntik mati. Keinginan itu terlontar Jaksa Agung masih dijabat Abdul Rahman Saleh.

Keinginan itu, menurut Ritonga, belum diperdalam lagi. “Mungkin nanti, dalam perubahan UU, kemungkinan itu dimasukkan. Atas inisiatif Kejaksaan Agung, kami menyiapkan draf perubahan UU Grasi dan UU Nomor 2/1964/PNPS yang mengatur tata laksana hukuman mati,” jelasnya.

Pendapat berbeda disampaikan Sutradara Gintings, anggota Komisi I DPR-RI dari Fraksi PDI-P.

Sutradara Gintings

Ia bilang, “Dalam standar internasional, dikenal istilah one shoot die. Satu tembakan harus bisa mematikan. Jadi, Polri harus mampu memilih personel yang benar-benar terlatih dan berkemampuan tinggi untuk melaksanakan hukuman tembak mati. Ingat saja one shoot die.”

Gintings menambahkan, pemerintah juga harus mencermati payung hukum menyangkut jumlah peluru yang boleh digunakan Polri setiap kali melaksanakan hukuman tembak mati.

“Jika pegangannya hanya berdasarkan petunjuk tertulis Bareskrim, ya jelas sangat tidak cukup. Apa-apan ini? Tidak bisa dibiarkan polisi bikin sendiri petunjuknya. Ini negara hukum. Buat apa dihadirkan saksi jika pelaksanaan eksekusi mati belum didasarkan pada aturan yang jelas, mendetail, dan menjamin one shoot die itu,” kata Gintings.

Solahudin Wahid, mantan anggota Komnas HAM, pun terkejut begitu tahu bahwa sampai saat ini belum ada ketentuan hukum yang mengatur berapa jumlah peluru yang boleh ditembakkan ke tubuh terpidana mati.

“Jika tata laksana eksekusi mati itu diatur dalam UU Nomor 2/1964/ PNPS, otomatis aturan tentang jumlah peluru yang boleh digunakan regu tembak juga harus diatur dalam payung hukum yang levelnya setingkat di bawah UU, yaitu Peraturan Pemerintah. Jangan hanya petunjuk tertulis Bareskrim dong,” tegas Solahudin kepada INILAH.COM.

Seiring waktu, sambil terus mematangkan wacana tentang perlu tidaknya hukuman mati di Indonesia, satu hal yang sepatutnya diingat oleh Kejaksaan sebagai eksekutor dalam vonis mati adalah nilai-nilai kemanusiaan yang harus tetap diberikan kepada terpidana mati.

One shoot die! Satu tembakan saja sudah harus membuat terpidana betul-betul mati. Tidak sampai kelojotan menahan sakit dan menyambung nyawa dulu. Juga jangan sampai si terpidana dihajar dengan berondongan timah panas sebelum menemui ajalnya.