Senin, Juni 22, 2009

Tulisan Suciwati, MUNIR CAHAYA YANG TAK PERNAH PADAM


  • Munir

    Oleh : SUCIWATI, Isteri Alm. Munir.

    BAGIAN PERTAMA

  • “Kenapa Abah dibunuh, Bu?” Mulut mungil itu tiba-tiba bersuara bak godam menghantam ulu hatiku. Gadis kecilku, Diva Suukyi, saat itu masih 2 tahun, menatap penuh harap. Menuntut penjelasan.

    Suaraku mendadak menghilang. Airmataku jatuh. Sungguh, seandainya boleh memilih, aku akan pergi jauh. Tak kuasa aku menatap mata tanpa dosa yang menuntut jawaban itu. Terlalu dini, sayang. Belum saatnya kau mengetahui kekejian di balik meninggalnya ayahmu, suamiku, Munir. Seolah tahu lidah ibunya kelu, Diva memelukku. Tangan kecilnya melingkari tubuhku. ”Ibu jangan menangis…Jangan sedih,” kata-kata itu terus mengiang di telingaku.

    Pada 7 September 2004, sejarah kelam itu tertoreh. Munir, suami dan ayah dua anakku –Alif Allende (10) dan Diva Suukyi (6)—meninggal. Siang itu, pukul 2.

    Usman Hamid dari KontraS menelepon ke rumah. “Mbak Suci ada di mana?” Firasatku langsung berkata ada yang tidak beres. Pasti ada hal yang begitu besar terjadi sampai Usman begitu bingung. Jelas dia menelepon ke rumah, kok masih bertanya aku di mana.

    Benar saja. Tergagap Usman bertanya, “Mbak, apa sudah mendengar kabar bahwa Cak Munir sudah meninggal?”

    Tertegun aku mendengarnya. Seolah aku berada di awang-awang dan kemudian langsung dibanting ke tanah dengan keras. Kehidupan seolah berhenti. Seseorang yang menjadi bagian jiwaku, nyawaku, telah tiada. Kegelapan itu mencengkeram dan menghujamku dalam duka yang tak terperi.

    Nyatakah ini? Air mata membanjir. Tubuhku limbung. Perlu beberapa saat bagiku untuk mengumpulkan tenaga dan akal sehat. Aku harus segera mencari informasi tentang Munir. Ya Tuhan, apa yang terjadi pada dia?

    Begitu kesadaranku hadir, segera kutelepon berbagai lembaga seperti Imparsial dan kantor Garuda di Jakarta dan di Schipol (Belanda). Begitu pula teman-teman Munir di Belanda. Aku segera mencari kabar lebih lanjut dari kawan-kawan aktivis. Tak ada yang bisa memberikan keterangan memuaskan.

    Orang-orang mulai berdatangan untuk menyampaikan bela sungkawa. Aku masih sibuk mencari informasi kesana-kemari. Sebagian diriku masih ngeyel, berharap berita itu bohong semata. Aku hanya akan percaya jika melihat langsung jenazah almarhum.

    Pada tragedi ini, pihak Garuda amat tidak bertanggungjawab. Tiga kali aku menelepon kantor mereka di Jakarta, tapi tak satu pun keterangan didapat. Mereka bahkan bilang tidak tahu-menahu soal kabar kematian Munir. Sungguh menyakitkan, pihak maskapai penerbangan Garuda harusnya yang paling bertanggungjawab tidak sekali pun menghubungiku untuk memberi informasi. Padahal, Munir meninggal di pesawat Garuda 974.

    Kantor Garuda di Schipol pun sama saja. Pada telepon ketiga, dengan marah aku menyatakan berhak mendapat kabar yang jelas menyangkut suamiku. Barulah informasi itu datang. Yan, nama karyawan Garuda itu, menjelaskan bahwa memang Munir telah meninggal dan dia menyaksikan secara langsung. Yan bahkan berpesan jangan sampai orang mengetahui kalau dia yang memberi kabar itu kepadaku. Ah, apa pula ini? Tuhan, beri aku kekuatan-Mu.

    Aku hanya bisa menangis. Si sulung Alif, saat itu baru 6 tahun, melihatku dengan sedih dan ikut menangis. Diva terus bertanya dalam ketidak mengertiannya, “Kenapa Ibu menangis?” Aku merasa seolah jauh dari dunia nyata. Kosong.

    Jiwaku hampa. Saat itu, dengan kedangkalanku sebagai manusia, sejuta pertanyaan dan gugatan terlontar kepada Tuhan. “Kenapa bukan aku saja yang Engkau panggil, Ya Allah? Mengapa harus dia? Mengapa dengan cara seperti ini? Mengapa harus saat ini? Mengapa? Ya Allah, Kau bole

    h ambil nyawaku,hamba siap menggantikannya. Dia masih sangat kami butuhkan, negara ini butuh dia.”

    Rumah tiba-tiba dibanjiri manusia. Teman, kerabat, tetangga berdatangan. Bunga berjajar dari ujung jalan sampai ujung satunya. Alif bertanya, “Kenapa bunga itu tulisannya turut berduka cita untuk Abah?” Anakku, aku peluk dia, kukatakan bahwa Abah tidak akan pernah kembali lagi dari Belanda. Abah telah meninggal dan kita tidak akan pernah bertemu lagi dengannya.

    Alif menangis dan protes, “Bukannya Abah hanya sekolah? Bukannya Abah akan pulang Desember? Kenapa kita tidak akan ketemu lagi?” Amel, guru yang selama ini melakukan terapi untuk Alif yang cenderung hiperaktif, segera menggendong dan membawa Alif keluar. Maafkan, Nak. Aku tak berdaya bahkan untuk sekedar menjawab pertanyaanmu. Aku tidak mampu.

    Teman-teman dari berbagai lembaga juga datang. Antara lain dari Kontras, Imparsial, Infid, HRWG, dan banyak lagi yang tak mungkin aku mengingatnya satu persatu. Semua tumpah ruah.

    Puluhan wartawan juga datang, tapi aku tak mau diwawancarai mereka. Biarlah kesedihan ini mutlak jadi milikku. Meskipun aku yakin bahwa keluarga korban yang selama ini didampingi almarhum pasti tidak kalah sedih. Sebagian mereka datang dan histeris menangisi kehilangan Munir.

    PADA 8 September 2004, aku menjemput jenazah suamiku. Bersama Poengky dan Ucok dari Imparsial, Usman dari KontraS, dan Rasyid kakak Munir, aku berangkat ke Belanda. Ya Tuhan, beri aku kekuatan-Mu, begitu doaku sepanjang perjalanan.

    Di ruang Mortuarium Schipol, jasad Munir terbujur kaku. Kami tiada tahan untuk tidak histeris. Usman melantunkan doa-doa yang membuat kami tenang kembali.

    Sejenak aku ingin hanya berdua dengan suami tercintaku. Aku meminta teman-teman keluar dari ruangan. Aku pandangi Munir dalam derai air mata. Tak tahu lagi apa yang kurasakan saat itu. Sedih, hampa, kosong.

    Lalu, kupegang tangannya. Kupandangi dia. Teringat saat-saat indah ketika kami bersama. Tiba-tiba ada rasa lain yang membuat aku menerima kenyataan ini. Aku harus merelakan kepergiannya. Doa-doa kupanjatkan. Ya Allah, berilah suamiku tempat terhomat disisi-Mu. Amien.

    Suciwati

    Di Batu, 12 September 2004, kota kelahirannya, Munir disemayamkan. Pelayat seolah tiada habisnya datang. Handai taulan, sahabat, teman-teman buruh, petani, mahasiswa, aktivis, wartawan semua ada. Banyak yang tidak tidur menunggu esok hari, saat pemakaman Munir. Umik, ibu Munir, begitu sedih. Aku bahkan tak sanggup melihat kesedihan yang membayang di wajahnya.

    Hari itu, masjid terbesar di Batu, tempat Munir disholati, tidak sanggup menampung semua yang hadir. Perlu antre bergantian untuk sholat jenazah. Kota Batu yang selama ini sepi mendadak dipadati manusia. Melimpahnya “tamu” Munir ini bagai suntikan semangat bagiku. Bahwa ternyata bukan aku dan keluarga saja yang merasakan kedukaan ini. Dukungan yang mereka berikan membuatku kuat.

    Seperti menanam sesuatu maka kamu akan memanennya,itulah yang aku buktikan hari ini. Aku melihat yang dilakukan Munir selama ini membuktikan apa yang dia perbuat.

    Munir selalu mencoba berjuang bagi tegaknya keadilan dan perdamaian. Dia berteriak lantang menyuarakan keadilan bagi korban, baik di Aceh,Papua,Ambon dan dimana saja. Keberanian dan sikap kritisnya terhadap penguasa memang harus dibayar mahal oleh nyawanya sendiri dan juga oleh keluarga yang ditinggalkannya ‘anak dan istrinya’.

    TAK MUDAH bagiku mencerna kehilangan ini. Perlu proses untuk menerima, mengikhlaskan kepergian Munir, dan menerima bahwa ini adalah kehendakNya. Jika Tuhan sudah berkehendak, maka siapa pun dan dengan cara apa pun tidak akan mampu mengelak. Keyakinan bahwa hidup-mati manusia adalah kehendak-Nya itu membuat aku bangkit lagi.

    Munir adalah manusia, sama sepertiku dan yang lainnya, yang bisa mati. Kemarin, sekarang atau besok, itu hanya persoalan waktu. Sakit, diracun, atau ditembak itu hanya persoalan cara. Kematian adalah keniscayaan. Suka atau tidak suka, kita tetap harus menghadapinya. Dan kehidupan tidak berhenti. Air mata kepedihan tidak akan pernah mengembalikannya.

    Sepenggal doa Sayyidina Ali, sahabat Nabi Muhammad SAW, membuatku bertambah yakin bahwa aku harus bangkit:

    “Ketika kumohon kekuatan, Allah memberiku kesulitan agar aku menjadi kuat. Ketika kumohon kebijaksanaan, Allh memberiku masalah untuk kupecahkan. Ketika kumohon kesejahteraan, Allah memberikan aku akal untuk berpikir. Ketika kumohon keberanian, Allah memberiku kondisi bahaya untuk kuatasi. Ketika kumohon sebuah cinta, Allah memberiku orang-orang bermasalah untuk kutolong. Ketika kumohon bantuan, Allah memberiku kesempatan. Aku tidak pernah menerima apa yang kupinta, tapi aku menerima segala yang kubutuhkan.”

    Kucoba untuk merenung. Kuteguhkan hati bahwa ini bukan sekedar takdir, tapi ada misteri yang menyelubungi. Misteri yang harus diungkap. Aku harus berbuat sesuatu. Bersyukur, aku tidak sendirian dalam kedukaan ini. Banyak teman-teman yang peduli kepada kami sekeluarga.

  • BAGIAN KEDUA

  • DUA bulan kemudian, tepatnya 11 November 2004, Rachland dari Imparsial menghubungiku. Dia mengabarkan ada wartawan dari Belanda ingin mewawancarai. Dia juga bertanya, apakah aku sudah mengetahui hasil otopsi yang dilakukan pihak Belanda terhadap almarhum Munir. Hasil otopsi itu kabarnya diserahkan kepada pemerintah Indonesia melalui Departemen Luar Negeri.

    Aku berharap teman-teman memiliki jaringan ke Departemen Luar Negeri. Tapi, rupanya tidak. Aku pun menelepon 108 –nomor informasi—untuk meminta nomer telepon kantor Departemen Luar Negeri.

    Teleponku ditanggapi seperti ping-pong. Dioper sana-sini. Sampai akhirnya aku berbicara via telepon dengan Pak Arizal. Dia menjelaskan bahwa semua dokumen otopsi telah diserahkan kepada Kepala Polri, dengan koordinasi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.

    Entah, keberanian dari mana yang menyusup dalam diriku pada waktu itu. Aku tanpa ragu menghubungi dan berbicara dengan mereka, semua pejabat itu. Kebetulan, semua nomor telepon pejabat-pejabat penting itu terekam dalam telepon genggam suamiku.

    Kepada para petinggi itu, aku bertanya, “Kenapa aku sebagai orang terdekat almarhum tidak diberitahu tentang otopsi? Apa yang terjadi padanya? Apa hasilnya?” Mereka tidak memberikan jawaban. Padahal, sebagai istri korban, aku memiliki hak yang tak bisa diabaikan begitu saja.

    Pukul 10.00 malam, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Pak Widodo AS meneleponku. Menurut dia, hasil otopsi telah diserahkan kepada Kepala Bagian Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Pak Suyitno Landung, Markas Besar Polri. Malam itu juga aku menelepon Kabareskrim. Aku meminta bertemu dengan dia esok paginya.

    Bersama Al Ar’af dari Imparsial,dan Usman Hamid dari KontraS, Binny Buchori dari Infid, Smita dari Cetro dan beberapa kawan, esok paginya tanggal 12 November 2004 aku mendatangi kantor Kabareskrim.

    Pagi itu aku menghadapi kenyataan yang menyakitkan. Benarlah dugaanku bahwa ada yang aneh pada kematian Munir. Hasil otopsi itu menjelaskan dengan gamblang bahwa kematian almarhum adalah lantaran racun arsenik. Racun itu ditemukan di lambung, urine, dan darahnya. Ternyata dia memang dibunuh…!

  • KELUAR dari Mabes Polri, kami sudah diserbu wartawan. Siaran pers pun digelar bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di kantor KontraS.

    Isinya, mendesak pemerintah untuk segera melakukan investigasi, menyerahkan hasil otopsi kepada keluarga, dan membentuk tim penyelidikan independen yang melibatkan kalangan masyarakat sipil. Desakan serupa dikeluarkan oleh tokoh-tokoh masyarakat di berbagai daerah. Desakan yang ditanggapi dengan janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengusut kasus pembunuhan Munir.

    Tak lama pula kami membentuk KASUM (Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir). Banyak organisasi dan individu yang punya komitmen akan pengungkapan kasus ini bergabung. Ini memang bukan hanya persoalan kematian seorang Munir. Lebih dari itu, ini persoalan kemanusiaan yang dihinakan dan kita tidak mau ada orang yang diperlakukan sama seperti dia hanya karena perbedaan pikiran.

    Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun sepakat untuk meminta pemerintah membentuk tim independen kasus Munir. DPR juga mendesak pemerintah segera menyerahkan hasil autopsi kepada keluarga almarhum. Pada November 2004, DPR membentuk tim pencari fakta untuk mengusut kasus pembunuhan Munir.

    PADA 24 November 2004, Presiden Yudhoyono bertemu denganku. Teman-teman dari Kontras, Imparsial, Demos menemaniku bertemu Presiden. Satu bulan kemudian tepatnya tanggal 23 Desember 2004 Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden untuk pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) Munir yang dipimpin oleh Brigjen pol. Marsudi Hanafi.

    Tim ini, di luar dugaan, bekerja efektif menemukan kepingan-kepingan puzzle siapa dibalik pembunuhan Munir. Fakta-fakta temuan tim ini cukup mencengangkan. Fakta yang menunjukkan benang merah pembunuhan keji penuh konspirasi dan penyalahgunaan kekuasaan serta kewenangan di Badan Intelejen Nasional (BIN). Sayangnya TPF tidak diperpanjang lagi setelah dua kali(6 bulan)masa kerjanya.

    Adalah Pollycarpus, pilot Garuda, benang merah yang mengurai jaring laba-laba kebekuan dan kerahasiaan yang melingkupi BIN. Polly, sebuah nama yang sangat melekat dibenakku. Sangat dalam maknanya dalam perjalanan menguak kebenaran siapa dibalik kematian Munir, suamiku.

    Dia adalah orang yang menelepon suamiku dua hari sebelum berangkat ke Belanda. Polly menanyakan jadwal keberangkatan suamiku dan dia mau mengajak berangkat bersama. Kebetulan waktu itu aku yang menerima telepon itu. Jika tidak, barangkali aku tidak akan pernah tahu keberadaan Polly. Munir mengatakan Polly adalah orang aneh dan sok akrab. “Dia itu orang tidak dikenal tapi tiba-tiba menitipkan surat untuk diposkan di bandara setempat ketika aku hendak ke Swiss,” begitu kata Munir

    Terungkap dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sang pilot tidak hanya menerbangkan pesawat. Dia adalah orang yang mempunyai hubungan dengan agen BIN seperti halnya Mayor Jenderal TNI Muchdi PR, Deputi V BIN. Polly disebut sebagai agen non organik BIN yang langsung berada di bawah kendali Muchdi. Berkas dakwaan tersebut juga menyebut adanya pembunuhan berencana terhadap Munir.

    Tercatat pula dalam berkas dakwaan untuk Muchdi PR, keduanya –Polly dan Muchdi—berhubungan intensif melalui telepon. Paling tidak 41 kali hubungan telepon antara Muchdi dan Polly yang terjadi menjelang, saat dan sesudah tanggal kematian Munir. Bisa diduga, keduanya berhubungan terkait dengan perencanaan, eksekusi, dan pembersihan jejak.

  • KAMI, aku dan teman-teman KASUM, juga melakukan investigasi. Kami berusaha memetakan jejak sang pilot. Melalui berbagai penelusuran, terungkap bahwa Pollycarpus memiliki hubungan dengan para pejabat BIN. Sosok satu ini diketahui berada di berbagai daerah titik panas seperti Papua, Timor Leste, dan Aceh. Sebuah fakta yang tidak biasa dalam dunia profesi pilot.

  • Polly sendiri, dalam persidangan, mengaku bahwa dia pernah tinggal cukup lama di Papua. Katanya, dia bertugas sebagai pilot misionaris sebelum bekerja di Garuda. Mungkin kebetulan, mungkin juga tidak, keberadaan Polly di Papua ternyata bersamaan dengan Muchdi PR yang waktu itu menjadi Komandan KODIM 1701 Jayapura pada tahun 1988-1993. Lalu, Muchdi menjadi Kasrem Biak 173/ 1993-1995. Melihat rekam jejak ini, patut diduga, pada periode itulah perkenalan pertama sang pilot dengan sang jenderal.

    Indra Setiawan, saat itu menjabat Direktur Utama Garuda, mengakui mengingat nama Pollycarpus karena khas dan unik. Pada 22 November 2004, ketika kami meminta keterangan kepada Indra,

    Aku: Apakah ada yang namanya Polly di Garuda?
    Indra (menjawab dengan cepat) : Oh ya. Ada. Namanya Pollycarpus.
    Aku : Bapak kok hafal padahal karyawan bapak lebih dari 7000 ?
    Indra : Ya, soalnya namanya khas dan unik. Kalau namanya Slamet, saya pasti lupa.

    Belakangan, dalam persidangan, baik sebagai saksi atau pun ketika ditetapkan sebagai terdakwa pada tahun 2007, terungkap bahwa Indra mengingat Polly karena alasan khusus. Alasan yang berkaitan dengan BIN. Polly merangkap pilot dan bagian pengamanan penerbangan (aviation security) atas permintaan BIN. Sebuah alasan yang masuk akal. Jika BIN yang meminta, kendati tidak benar secara prosedur, maka pihak Garuda tidak bisa menolak.

    BIN mengeluarkan permintaan tersebut dalam surat yang ditandatangani Wakil Kepala BIN As’ad Said Ali. Pada saat itu Kepala BIN dijabat oleh Hendropriyono –sosok yang selama ini sangat dekat dengan berbagai kasus yang diadvokasi almarhum.

    Surat yang diteken As’ad patut diduga menjadi petunjuk bahwa rencana pembunuhan Munir melibatkan para petinggi BIN, bukan hanya Muchdi , tapi juga Hendropriyono. Apalagi, sesuai pengakuan agen BIN Ucok alias Empi alias Raden Patma dalam persidangan Peninjauan Kembali, Deputi II Manunggal Maladi dan Deputi IV Johannes Wahyu Saronto BIN juga diduga terlibat.

  • Irjen YWS yang ditulis Suciwati dalam tulisannya sebagai orang yang patut dapat diduga ikut terlibat dalam rencana MEMBUNUH Munir


    BAGIAN KETIGA

    SERANGKAIAN persidangan kasus pembunuhan Munir begitu melelahkan. Tak hanya secara fisik tetapi juga secara mental. Betapa tidak, pada tingkat Mahkamah Agung, Pollycarpus hanya dihukum dua tahun. Polly hanya dinyatakan bersalah melakukan pemalsuan surat, bukan pembunuhan. Semua ini tentu merupakan pukulan sendiri buatku.

    Jantungku sakit sekali ketika aku mendengar putusan untuk Polly. Aku merasa kehilangan untuk yang kedua kalinya, kehilangan Munir dan kehilangan keadilan itu sendiri.

    Bagaimana mungkin fakta-fakta yang begitu mencolok diabaikan begitu saja oleh hakim-hakim itu? Bagaimana mungkin keadilan hukum bisa kuraih jika dipenuhi oleh manusia tanpa hati nurani?

    Dua dari tiga hakim yang membebaskan Pollycarpus dari dakwaan pembunuhan itu memiliki latar belakang sebagai tentara. Keduanya adalah purnawirawan TNI dengan pangkat terakhir mayor jenderal. Tak heran, beberapa pihak menduga, ada semangat korps dalam menangani kasus ini yang menguntungkan Pollycarpus.

    Kesedihan sama sekali tidak membuatku surut. Aku yakin pasti masih banyak aparat penegak hukum mempunyai hati nurani. Masih banyak yang peduli pada keadilan dan kebenaran. Ini terbukti dalam putusan pengadilan kasasi pada tanggal 25 Januari 2008 Polycarpus dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun atas dakwaan pembunuhan berencana dan pemalsuan surat tugas.

    Selesai? Belum. Misteri pembunuhan Munir masih jauh dari terungkap. Terungkap dari persidangan, juga keputusan pemidanaan Polly, ada mesin intelejen yang bekerja dengan jahat menghabisi nyawa Munir. Ini jauh lebih penting ketimbang sekadar menghukum Polly. Dia hanya pelaku lapangan, bukan orang yang secara sistematis menggunakan kekuasaan dan kewenangan dalam melakukan pembunuhan ini.

    Tragisnya, sampai hari ini proses meraih kebenaran dan keadilan siapa di balik pembunuhan Munir masih terseok-seok. Tabir misteri belum tersingkap.

    Benar, ada perkembangan baru dengan ditangkapnya Muchdi Purwopranjono 19 Juni 2008. Jenderal bintang dua ini diduga kuat berada di balik pembunuhan Cak Munir. Saat ini proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sedang berlangsung untuk membuktikan dugaan tersebut.

    Yah, aku berharap persidangan ini berlangsung adil. Kejahatan para pelaku pelanggar HAM selayaknya dibawa ke pengadilan. Namun, kecemasan selalu hadir. Adakah keadilan akan berpihak kepadaku?

    Aku berharap masih ada jaksa dan hakim handal yang mengedepankan hati nurani ada di pengadilan ini. Tentu saja aku juga berharap pelaku sesungguhnya juga segera ditangkap, siapa pun dia.

    PERJALANAN meraih keadilan begitu berliku. Satu hal yang paling aku syukuri adalah begitu banyak sahabat yang mendukung perjuangan pencarian keadilan ini. Teman-teman di KASUM dan tak sedikit sahabat yang secara pribadi memberiku kekuatan untuk terus berjuang.

    Tak jarang teror hadir. Ada ancaman datang dari mereka yang ingin memadamkan pencarian keadilan ini. Bahkan statusku sebagai ibu juga menjadi bagian empuk untuk diserang oleh mereka. Syukurlah, di saat-saat begini, sahabat-sahabatku setia mendampingi dan menguatkanku.

    Desakan penuntasan kasus Munir dari dalam negeri cukup kuat. Pada 7 Desember 2006, Tim Munir DPR RI mengeluarkan rekomendasi agar Presiden membentuk Tim Pencari Fakta yang baru. Berbagai kelompok masyarakat sipil pun terus mempertanyakan kasus Munir. Mereka datang dari berbagai kalangan, antara lain LSM, akademisi, petani, buruh, seniman,wartawan dan berbagai profesi lainnya.

    Tak hanya dari dalam negeri, dukungan juga datang dari segala penjuru dunia. Pada 9 November 2005, misalnya, 68 anggota Kongres Amerika Serikat mengirimkan surat kepad

    a Presiden Yudhoyono agar segera mempublikasikan laporan TPF. Anggota Kongres AS tersebut mempertanyakan keseriusan pemerintah Indonesia dalam menuntaskan kasus Munir.

    Pada September 2006, saat KTT ke-6 ASEM (The Asia-Europe Meeting) di Helsinki, Finlandia, kasus Munir menjadi salah satu sorotan peserta. Presiden Komisi Eropa Jose Manuel Barroso, peserta penting dalam konferensi tersebut, mempertanyakan kelanjutan pengusutan kasus Munir langsung kepada Presiden Yudhoyono.

    Philip Alston, UN Special Rapporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions, juga telah menyatakan kesediaannya untuk ikut membantu pemerintah Indonesia dalam mengusut kasus Munir.

    Pelapor khusus, yakni Hina Jilani (Human Rights Defender) dan Leandro Despouy (Kemandirian Hakim dan Pengacara), juga telah menyatakan keprihatinan akan kasus Munir di hadapan Dewan Hak Asasi Manusia Persatuan Bangsa-Bangsa.

    Pada 26 Februari 2008, Deklarasi Parlemen Uni Eropa meminta pemerintah Indonesia serius dalam menuntaskan kasus Munir. Bahkan, 412 anggota parlemen yang menandatangani deklarasi ini meminta Uni Eropa memonitor kasus ini sampai tuntas.

    Mengalirnya dukungan tersebut mestinya membuat pemerintah tidak usah ragu. Siapa pun di balik kekejian ini harus diungkap, tak peduli jika penjahatnya itu adalah orang kuat.

    Dukungan bagi pemerintah telah mengalir, secara hukum dan politik. Tinggal perintah dari sang presiden untuk memastikan kepolisian tetap bekerja mengusut kasus ini sampai terungkapnya sang aktor utama. Presiden juga hanya perlu memerintahkan Jaksa Agung untuk bekerja profesional. Hanya itu….

    Presiden Yudhoyono pernah menyatakan bahwa pengusutan kasus pembunuhan Munir adalah ujian bagi sejarah bangsa. “Test of our history,” kata Pak Presiden.

    Jadi, aku,rakyat Indonesia dan komunitas internasional menunggu bukti perkataan itu. Aku menunggu pengusutan misteri ini sampai pada aktor utamanya, bukan hanya aktor pinggiran saja. Negara harus bertanggung jawab atas semua pelanggaran HAM yang telah terjadi.

    BAGIKU, Munir adalah cahaya yang tidak pernah padam. Kesan ini semakin mendalam terasa setelah kepergiannya. Munir beserta semangatnya telah memecahkan ketakutan yang mencekam, menciptakan budaya demokrasi, memberi harapan penegakan HAM. Semua yang Munir lakukan menjadi inspirasi bagiku dan teman-teman penggerak demokrasi di negeri ini. Niscaya, semangat itu diteruskan oleh para pencinta keadilan dan kebenaran dengan tanpa henti.

    Ya Allah, aku bukan Sayidina Ali yang Kau beri kemuliaan. Aku hanya manusia biasa dan aku memohon kepadaMu sebab aku meyakiniMu. Berilah kemudahan bagi kami untuk mengungkap pembunuhan ini. Beri kami kekuatan untuk menjadikan kebenaran sebagai kebenaran sesuai perintahMu. Menjadikan keadilan sebagai tujuanku seperti tujuan menurutMu.

    Ya Allah, aku tidak menjadi manusia yang lebih dari yang lain dengan berbagai ujian yang Kau berikan, seperti Kau muliakan Nabi Muhammad dengan berbagai ujianMu. Aku hanya minta menjadi manusia biasa dan dapat mengungkap kasus ini. Amin.

    Bekasi, September 2008.

    (Tamat)

    LAMPIRAN (BERITA YANG DIMUAT DI WWW.KOMPAS.COM )

    http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/25/11182561/santet.jadi.alternatif.bunuh.munir

    SANTET JADI ALTERNATIF BUNUH MUNIR
    Kamis, 25 September 2008 | 11:18 WIB

    JAKARTA, KAMIS — Santet ternyata menjadi salah satu cara atau intrik yang akan digunakan untuk membunuh aktivis HAM Munir pada tahun 2004. Hal ini terungkap dalam sidang lanjutan pembunuhan Munir dengan terdakwa Muchdi Pr di PN Jakarta Selatan, Kamis (25/9/2008), dari kesaksian aktivis Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Henda

    rdi.

    Alternatif intrik ini merupakan petunjuk dari dokumen yang diperoleh Tim Pencari Fakta (TPF) Munir sekitar tahun 2005. Menurut Hendardi, dokumen tersebut diterima Ketua TPF Marsudi Hanafi. Namun, mereka tidak mengetahui dari siapa dokumen tersebut berasal.

    Dokumen tersebut merupakan hasil tulisan seseorang atau sejumlah orang yang tidak diketahui mengenai skenario pembunuhan yang akan dipakai untuk membunuh Munir. Skenario tersebut memuat pengetahuan dan analisis orang-orang tersebut mengenai siapa yang terlibat, tempat dan waktu pertemuan, perencanaan cara dan intrik alternatif pembunuhan dilangsungkan.

    Di dalamnya juga memuat nama target lain selain Munir serta eksekutornya, tapi Hendardi mengaku lupa. “Tapi karena terakhir masa TPF tak kami jadikan data primer,” ujar Hendardi.

    Selain intrik pembunuhan dengan santet, intrik pembunuhan dengan racun juga tercantum di dalamnya. Bahkan dituliskan telah dicobakan kepada hewan hingga hewan itu mati.


    TULISAN KE-2 :

    Ya Ampun, Busyet Deh, Ternyata Oknum Pejabat INTELIJEN Yang Patut Dapat Diduga Terlibat Dalam Kasus Munir Itu Kaya Buangettttt !!!

    YWS Kalibata
    YWS Kalibata

    JAKARTA (KATAKAMI) Rabu (11/3/2009) ini, bertepatan dengan peringatan SUPERSEMAR atau Surat Perintah Sebelas Maret, ada sesuatu yang sangat mengejutkan kami sebagai wartawan.

    Gila, oknum pejabat intelijen yang kami beberkan disini ternyata kaya raya luar biasa ! Ya ampun ! Minta ampun ! Ternyata di tengah krisis ekonomi seperti ini, orang yang TAJIR alias kayar raya buanyak juga ya ?

    Ceritanya, alternatif untuk bisa menyemarakkan suasana di pagi hari sambil menikmati sarapan yang “hangat-hangat” maka kami memilih pergi sebuah salon yang terletak di kawasan Pejompongan Jakarta Pusat.

    Pemiliknya kami kenal baik sekali. Kami berkenalan sekitar 11 tahun lalu karena kami sempat tinggal tidak jauh dari salon itu. Letaknya memang bukan di Mal mewah. Tapi pelanggan salon ini, rata-rata artis, ibu pejabat, isteri pejabat, polwan, jaksa, mantan pejabat, isteri mantan pejabat, anggota DPR, apa saja latar-belakangnya ada.

    Dan kami sengaja ke sana Rabu pagi tadi karena ingin mengetahui lebih jauh mengenai oknum pejabat intelijen tadi.

    Setelah memesan semangkok bakso yang memang sangat lezat sekali buatan salon itu, sang pemilik salon duduk ngobrol dengan KATAKAMI.COM selama 2 jam lebih. Dan fokus utama pembicaraan memang kami arahkan tentang kehidupan oknum pejabat intelijen tadi.

    Pemilik salon yang sangat cantik dan ramah ini sudah dianggap seperti keluarga sendiri oleh isteri dari si oknum pejabat intelijen tadi. Setiap kali berkunjung ke DI Yogyakarta maka si pemilik salon akan menginap di rumah si oknum intelijen.

    Dan setiap berkunjung ke Palangkaraya (Ka

    limantan Tengah) untuk memenuhi undangan sahabat dekat keluarga si oknum pejabat yang “akrab” dengan wartawati senior dari sebuah harian terkemuka ini, maka si pemilik salon tadi juga menginap di rumah yang sama.

    *****

    “Bagaimana kabarnya Bu Wahyozz (nama samaran, redaksi), Mbak ?” tanya KATAKAMI kepada sang pemilik salon Rabu pagi tadi.

    “Baik Mbak, 2 minggu lalu kan ke sini untuk pedicure dan manicure. Katanya Bapak lagi ada rapat di DPR jadi ibu ikut menemani ke Jakarta. Khan Bapak khan tidak setiap hari di Jakarta. Kalau ada rapat penting atau ada panggilan tertentu saja datangnya” jawab si Pemilik Salon.

    “Lho, kok bisa, khan Bapak itu pejabat ESELON I di lembaga intelijen itu, enak betul ada pejabat yang tidak ngantor setiap hari. Masih menajabat atau sudah dicopot sih ?” pancing KATAKAMI.

    “Masih menjabat Mbak, ya memang dari dulu begitu. Ke Jakarta kalau ada rapat saja. Selebihnya ya di Jogjayakarta,” jawabnya lagi.

    Begitulah obrolan pembuka kami. Kami mendengarkan dengan seksama sambil menikmati bakso yang lezat tadi.

    Dan bagaikan tersengat aliran listrik, kami sangat terkejut saat diceritakan soal kekayaan si pejabat.

    Bayangkan, si oknum pejabat itu tinggal di sebuah rumah mewah yang didirikan di atas tanah seluas 1000 meter. Persis di sebelahnya, didirikan bisnis pijat refleksi diatas tanah lainnya seluas 600 meter. Kemudian persis di seberang bisnis pijat refleksi tadi, didirikan juga sebuah restoran diatas tanah sekitar 1000 meter lainnya.

    Dan di kota Jogjakarta, sang isteri punya 2 bisnis restoran lagi yang didirikan di atas tanah yang sama luasnya dengan restoran pertama yaitu restoran dengan menu Manado dan menu Jawa. Ini dua restoran yang berbeda.

    Selain itu, oknum pejabat ini juga mempunyai bisnis kos-kosan untuk mahasiswa sebanyak 200 kamar yang didirikan di atas tanah ribuan meter juga di dekat sebuah perguruan tinggi terkemuka.

    Belum termasuk tanah dan rumah lainnya yang rata-rata selebar tanah yang dimiliki di rumah utama. Aset tambahan yang berjibun untuk urusan tanah dan rumah ini, diberikan untuk anak-anaknya. Dari 4 anak, 1 tinggal di Malang dan 3 di Yogyakarta.

    Begitu juga di kota Malang, oknum pejabat ini punya restoran yang didirikan di atas tanah ribuan meter. Lalu beberapa rumah juga menjadi aset mereka di kota Malang.

    Ternyata koleksi tanahnya tak cuma di Pulau Jawa.

    Di Palangkaraya, oknum pejabat ini sempat memiliki tanah seluar 12 ribu meter. Tanah yang berdekatan dengan Bandar Udara disana, sudah dijual kepada seorang pengusaha. Ternyata dahulu kala, oknum pejabat ini sempat bertugas di salah satu jajaran Kepolisian yang ada di bawah struktur Polda Kalteng.

    Dan coba tebak berapa mobil yang stand by di rumah oknum pejabat ini yang terletak di Jogjakarta tadi ?

    Ilustrasi GAMBAR MOBIL ALPHARD
    Ilustrasi GAMBAR MOBIL ALPHARD

    Khusus untuk digunakan pasutri TAJIR ini, ada 8 mobil mewah yang stand by. Diantaranya adalah mobil ALPHARD terbaru, Land Cruiser, sedan-sedan mewah dengan total mobil di rumah itu saja ada 8 unit.

    Itupun ada 2 mobil yang tidak bisa lagi ditempung didalam garasi rumah sehingga 2 dari 8 mobil mewah itu diparkir di halaman rumah mereka.

    Ternyata, kami harus mengakui bahwa sebagai wartawan yang hidup sederhana, mendengar kisah kekayaan yang menyilaukan ini kami benar-benar seperti istilah yang sering digunakan TUKUL ARWANA di acara EMPAT MATA.

    Kami benar-benar KATRO alias Ndeso alias Kampungan !

    Ilustrasi GAMBAR MOBIL LANDCRUISER
    Ilustrasi GAMBAR MOBIL LANDCRUISER

    Mengapa ? Sebab kami terkejut-kejut mendengar cerita soal kekayaan ini. Bahkan si Pemilik Salon saja sampai setengah becanda mengomentari kepolosan kami. “Kasihan deh lu Mbak, gak gaul bener !” katanya sambil tertawa renyah.

    Siapa yang tidak kaget, ketika diceritakan bahwa isteri si oknum pejabat ini adalah kolektor BERLIAN MEWAH.Dan tidak ada satu butirpun berliannya yang kecil, semua besar-besar karena memang hobi dari si ibu pejabat yang satu ini mengoleksi berlian sebesar kelereng.Memang ekstra besar !

    “Mbak Mega tahu gak harga berlian si ibu itu berapa, coba tebak kalau yang besar begitu harganya berapa ?” tanya si Pemilik Salon.

    Ilustrasi GAMBAR BERLIAN MEWAH
    Ilustrasi GAMBAR BERLIAN MEWAH

    “Saya gak tahu Mbak, boro-boro tahu harga berlian !” jawab KATAKAMI.

    “Berlian si ibu itu, anting-antingnya, itu sepasang ada yang harganya 1 miliar, ada yang harganya 2 miliar. Itu cuma untuk sepasang anting lho Mbak, belum kalungnya, belum cincinnya, mahal berliannya” kata si Pemilik Salon.

    “Berapa tadi ? Sepasang anting ada yang harganya 2 miliar ? Busyet, itu beneran atau bohongan ? Busyet, mahal bener Mbak ?” begitu sahut KATAKAMI.

    Apple-style-span” style=”font-family:arial;”>“Aduh Mbak, Mbak, berlian itu sistemnya krat-kratan, satu krat itu ratusan juta. Satu butir berlian, isinya bisa 5 sampai 7 krat. Kira-kira begitulah. Memang mahal Mbak. Yang jual berliannya khan saya juga kenal baik, tokonya di Melawai sana. Namanya Tante F, pelanggan saya juga. Wong saya pernah menemani temannya si Ibu itu, teman saya juga sih, beli perhiasaan berlian habis 1,5 miliar. Itu cuma sekali beli lho” kata si Pemilik Salon.

    Ilustrasi GAMBAR BERLIAN MEWAH
    Ilustrasi GAMBAR BERLIAN MEWAH

    “1,5 Miliar cuma buat beli perhiasaan ? Busyet deh Mbak, ya ampun, ya ampun, kaya bener sih. Ya ampun, buat apa buang duit cuma beli berlian semahal itu ?” tanya KATAKAMI.

    “Kita boleh bilang buat apa, kalau mereka ya enteng aja. Si Bapak Pejabat itu, gak pegang rupiah lho di dompetnya. Di dompet uang dolar Amerika, setumpuk. Kalau saya mengingap di rumah mereka, khan suka banyak keponakan mereka datang. Itu dikasih uang dolar tadi. Dompetnya khan panjang begitu” kata si Pemilik salon.

    “Masak sih gak pegang rupiah, sombong bener !” sahut KATAKAMI.

    “Mbak Mega ini suka ngeyel deh kalau diceritain. Iya bener Mbak, saya lihat sendiri waktu bagi-bagi duit. Kalau soal kekayaan, bukan kaya lagi mereka itu. Tapi … kuaya buangetttttt !” kata si Pemilik Salon.

    Yang lebih mencengangkan lagi, koleksi jam mewah pasutri ini juga sangat dasyat. Dari mulai merek ROLEX seharga ratusan juta dan merek mewah lainnya juga dibeli.

    Tetapi, walau kaya rayat seperti itu, pada tahun 2008 lalu, si oknum pejabat ini pernah mengalami sakit yang serius.

    Almarhum Munir yang tewas dibunuh karena diracun ARSENIK
    Almarhum Munir yang tewas dibunuh karena diracun ARSENIK

    “Mungkin karena ramai di pemberitaan soal kasus pembunuhan itu lho Mbak. Kata si Ibu, hatinya si Bapak menciut ukurannya. Jadi hanya tinggal sekian persen saja. Makan sampai di blender kok. Akhirnya di bawa ke Singapura. Enggak, enggak sampai opname lama kok, cuma general check up. Ternyata katanya salah diagnosa saja. Sekarang Bapak dan Ibu itu makan sepuasnya, berat badannya saja kata Ibu pada naik 10 kg” kata si pemilik salon.

    *****

    Luar biasa, memang akan sangat kelihatan bagaimana KATRO-nya kami jika mendengar kisah kemewahan yang menggiurkan begini.

    Tetapi yang sangat mengganggu di hati dan pikiran kami, bukankah si oknum pejabat yang patut dapat diduga berselingkuh dengan wartawati senior ini, menduduki jabatan eselon I di bidang intelijen.

    Mengapa bisa, mengapa diizinkan, mengapa enak sekali dan mengapa mungkin ada pejabat eselon I tidak perlu berkantor setiap hari. Jadi cuma datang kalau ada rapat penting saja atau mendampingi atasan rapat di DPR-RI ?

    W
    W

    Jika itu memang benar terjadi yaitu ada Pejabat Eselon I dibiarkan bekerja dengan pola yang sangat semaunya, berarti yang salah adalah sistem di dalam kantor mereka. Terutama atasan tertinggi di kantor itu, mengapa gampang sekali memberlakukan pola kerja yang demikian ?

    Begitu banyak pejabat karier yang ingin menjadi pejabat eselon I, tetapi malah sulit mendapatkan kesempatan !

    Dan mengingat banyaknya harta kekayaan yang sangat menyilaukan mata ini, kami juga termenung sejenak.

    Apakah semua harta kekayaan yang sangat dasyat ini, sudah dilaporkan secara resmi dan transparan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lewat Laporan Harta kekayaan Pejabat Negara ?

    Dengan pangkat terakhir bintang 2 atau purnawirawan POLISI dengan pangkat Irjen, berapa sebenarnya gaji yang didapatkan selama ini sehingga bisa mengumpulkan harta kekayaan yang luar biasa banyaknya ?

    Kalau memang purnawirawan POLRI ini punya banyak rezeki, mengapa para anggota POLRI di level bawah hidup serba menyedihkan semua karena gaji sangat pas pasan dan malah serba berkekurangan ?

    Wah wah wah. Kaya sekali untuk ukuran seorang pejabat yang berpangkat terakhir sebagai Irjen Purnawirawan.

    Fantastis sekali ! (MS)