Kamis, Juni 18, 2009

Pendekar-pendekar Besi Nusanta

May 14, 2009 in 2007 HAWAI'I, CATATAN

obama ann dunham warna

Pendekar-pendekar Besi Nusantara
[Diangkat dari Disertasi Stanley Ann Dunham, Peasant Blacksmithing in Indonesia: Surviving and Thriving Against all Odds, diterbikan Mizan, 2008]

Kata Pengantar oleh: Teguh Santosa

Mahasiswa University of Hawaii at Manoa (UHM),
Student Affiliate East West Center (EWC)

“Baik pada masa Perang Dingin, masa détente (peredaan ketegangan) sampai sekarang, intisari dari seluruh politik luar negeri Amerika di bawah para presiden dari Partai Republik maupun dari Partai Demokrat sama saja, yakni berusaha memegang hegemoni dan supremasi dunia. Hegemoni dan supremasi itu dimaksudkan berlaku di bidang ekonomi, politik, teknologi dan militer. Bila dilihat dari kelahirannya, lembaga-lembaga internasional seperti Perserikatan Bangsa Bangsa (United Nations), Bank Dunia, IMF dan WTO sejak semula dirancang untuk melindungi kepentingan ekonomi jangka panjang Amerika dan sekutu-sekutunya.”
Selamatkan Indonesia, Mohammad Amien Rais (2008)

Amerika Serikat yang dibangun di atas nilai-nilai kemanusiaan kini telah menjadi imperium yang, seperti Imperium Roma di masa lalu, menggunakan mesin perang dan kekuatan militer untuk memperluas wilayah kekuasaan, menaklukkan dan mengeksploitasi dunia.

Ketika Senator Illinois kelahiran Hawaii Barack Hussein Obama menyampaikan tekadnya mengubah watak imperialis Amerika —kecenderungan negara itu memperluas daerah kekuasaan dengan jalan menaklukkan bangsa dan negara lain untuk kepentingan ekonomi, industri dan modal— banyak pihak yang bertanya: apakah dia sudah gila? Setelah Obama secara resmi dicalonkan Partai Demokrat untuk menduduki kursi presiden Amerika Serikat, banyak orang yang bertanya, kali ini dengan harap-harap cemas: mampukah Obama?

Buku yang sedang berada di genggaman pembaca ini bukanlah buku tentang janji manis yang disampaikan Obama menjelang pemilihan presiden Amerika yang bila tak ada aral melintang akan digelar sebulan setelah buku ini dirilis. Bahkan buku ini sama sekali tidak berkaitan langsung dengan proses pemilihan itu.

Buku ini diangkat dari sebuah disertasi pada jurusan antropologi University of Hawaii at Manoa (UHM) yang berjudul Peasant Blacksmithing in Indonesia: Surviving and Thriving Against all Odds, yang membahas dengan sangat bernas kehidupan sosial dan ekonomi perajin besi di sebuah desa di selatan Jogjakarta, Indonesia.

Karya akademik ini dinilai semakin penting karena penulisnya adalah Ann Dunham, ibunda Barack Obama. Stanley Ann Dunham menghabiskan sebagian besar karier profesional dan akademiknya untuk kehidupan masyarakat miskin, terutama perempuan, di pedesaan Indonesia.

Ia bukan sekadar perempuan yang melahirkan dan membesarkan Obama. Lebih dari itu, Ann Dunham adalah teman diskusi yang turut membentuk pemahaman Obama mengenai realita dunia di luar Amerika Serikat. Membuat Obama mengerti dan menyadari bahwa berbagai perbedaan yang ada di muka bumi ini, sesuatu yang fitrah dan given, mestilah dijembatani dengan dialog, bukan dengan mesin perang.

“Ia adalah orang yang paling baik hati dan pemurah, yang pernah saya kenal. Ini merupakan hal terbaik yang saya miliki, dan saya berutang padanya,” tulis Obama dalam pengantar memoirnya, Dream from My Father, edisi 2004.

Untuk mempersiapkan buku ini, penulis berdiskusi secara intens dengan adik tiri Obama, Maya Soetoro-Ng, dan Profesor Alice Dewey dari jurusan antropologi UHM yang menjadi ketua komite disertasi Ann Dunham. Penulis sependapat dengan Maya dan Prof. Dewey, bahwa buku ini juga dapat memberikan gambaran mengenai hubungan segitiga antara Obama, Ann Dunham, dan pemahaman akan multikulturalisme yang sangat dibutuhkan pemimpin Amerika.

“Banyak hal yang diwarisi Obama dari ibu,” kata Maya. “Ibu kami idealistis sekaligus praktis, senang cerita dan bercerita. Obama mampu merangkul banyak orang karena ia, seperti ibu, menyukai cerita. Ia merangkai cerita demi cerita dan menemukan bahwa satu cerita mewarnai cerita lain. Ia mengangkat pengalaman hidup individu menjadi pengalaman hidup bersama rakyat Amerika dan dunia. Cerita-cerita itulah yang menginspirasi Obama.”

***

Tetapi sekali lagi, apakah Obama sungguh mampu mengubah watak dan tradisi politik Amerika? Sanggupkah ia melakukan perlawanan dari dalam, melawan kaum Hawkish dan korporatokrat yang mengumpulkan kekayaan lewat jalan perang?

Setelah peristiwa 9/11 tahun 2001, tulis Prof. Chalmers Johnson dari University of California dalam buku The Sorrow of Empires (2004), elit politik Amerika mulai membayangkan negara itu sebagai Roma baru yang tidak terikat pada hukum internasional, sehingga dapat melakukan apa saja yang mereka inginkan, termasuk menghancurkan kelompok atau siapapun yang mereka identifikasi dan kreasi sebagai musuh.

Namun sesungguhnya watak imperialisme Amerika itu sudah mulai tampak sejak, setidaknya, Perang Dunia Kedua berakhir. Dan pendekatan militeristik adalah satu dari tiga pendekatan utama yang digunakan Amerika untuk memperkuat cengkeramannya di sebuah negara.

Pendekatan kedua relatif lebih halus seperti yang dibeberkan John Perkins dalam buku Confession of the Economic Hit Man (2004). Perkins adalah salah seorang “mesin perusak ekonomi” yang disusupkan pemerintah Amerika untuk merusak pondasi ekonomi negara berkembang, termasuk Indonesia, dan menciptakan ketergantungan pada ekonomi pasar yang dikontrol Amerika. Tugas utama Perkins adalah meyakinkan otoritas politik dan keuangan negara berkembang untuk menerima utang (yang disamarkan dengan istilah bantuan) dalam jumlah yang begitu besar dari lembaga-lembaga keuangan internasional rekaan Amerika seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF).

Setelah jumlah utang berbulu bantuan berikut bunganya semakin membesar —dimana sebagian darinya lenyap ditelan praktik korupsi— dan tak dapat dibayar kembali, otoritas politik negara berkembang itu pun dipaksa tunduk, menyerah dan menerima begitu saja semua keinginan Amerika yang disusupkan lewat produk hukum yang dihasilkan lembaga legislatif dan/atau eksekutif serta diamini oleh lembaga yudisial.

Bagaimana bila otoritas politik di negara berkembang yang sudah terperangkap ini tetap berani menolak tekanan Amerika?

Mereka akan dihabisi, kata Perkins sambil mencontohkan nasib Presiden Ecuador Jaime Roldos Aguilera dan Presiden Panama Omar Torrijos Herrera. Kedua mantan presiden dari dua negara yang walau telah terperangkap namun masih berani menentang keinginan Amerika itu tewas dalam kecelakaan pesawat yang begitu mengerikan. Kecelakan itu, kata Perkins, direkayasa oleh jagal Central Intelligent America (CIA), dinas rahasia Amerika. Roldos tewas di bulan Mei 1981. Adapun Torrijos tewas tak lama kemudian, Agustus 1981. Perkins mendedikasikan Confession of the Economic Hit Man untuk kedua korban yang pernah jadi kliennya itu.

Pembangunan negara berkembang yang didesain oleh para economic hit men ini pada akhirnya menghasilkan struktur ekonomi yang rapuh dan rentan, yang kalaupun tampak berkilauan dari luar namun sesungguhnya kosong melompong ibarat gelembung yang dapat meletus setiap saat.

Seperti gelas anggur, mengutip istilah yang digunakan ekonom senior Indonesia, Dr. Rizal Ramli, pembangunan di negara berkembang hanya menguntungkan dan memakmurkan kelompok elit, kaum konglomerat yang mendapat privilege karena memiliki relasi politik yang kuat dengan pusat kekuasaan. Mereka adalah mesin uang yang bekerja di belakang dan mendorong keberlangsungan hidup elit politik. Jumlah kelompok ini tidak banyak. Di Indonesia, menurut Dr. Rizal Ramli, walau hanya terdiri dari ratusan keluarga konglomerat namun kelompok ini menguasai 80 persen “kue pembangunan”.

Kelompok kedua yang dihasilkan proses pembangunan model ini adalah kelas menengah yang rapuh dan kelompok profesional yang tidak mandiri secara ekonomi dan politik. Sementara kelompok terakhir adalah masyarakat kelas bawah yang jumlahnya begitu banyak, hasil dari proses peminggiran dan pengabaian yang dilakukan rezim secara terus menerus. Kebijakan ekonomi, politik, juga hukum jelas tidak berpihak kepada kelompok ini.

Nah, pendekatan ketiga yang digunakan Amerika untuk menaklukkan sebuah negara dan menguasai sumber daya alamnya adalah dengan mendukung pemerintahan boneka yang otoriter.

Walhasil, seperti ditulis Johnson dalam bukunya yang lain, Blowback (2000), diktator boneka yang didukung Amerika tersebar di banyak negara di banyak kawasan, mulai dari Syngman Rhee yang berkuasa di Korea Selatan dari tahun 1948 hingga 1960 diikuti oleh jenderal-jenderal boneka Korea Selatan setelahnya, hingga Shah Mohammed Riza Pahlevi di Iran (1953-1979), Soeharto di Indonesia (1965-1998), Ferdinand Marcos di Filipina (1965-1986), termasuk Saddam Hussein di Irak (1979-2003) yang di awal 1980-an merupakan skondan terbaik Amerika Serikat untuk menghadang revolusi Iran 1979.

Setelah Uni Soviet dan blok komunis bangkrut di awal 1990-an, Amerika menjadi satu-satunya polisi dunia yang secara de facto memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh negara lain. Amerika dengan leluasa menentukan siapa yang menjadi kawan atau lawan mereka. Setiap kawan akan dianugerahi wortel, dan sebaliknya, setiap lawan akan dipentung.

Namun, siapa yang menabur angin akan menuai badai. Inilah blowback, konsekuensi yang tak terbayangkan sebelumnya, tulis Johnson. Ia meminjam istilah yang dipergunakan pertama kali dalam laporan rahasia CIA setelah menggulingkan pemerintahan Mohammad Mossadegh di Iran tahun 1953.

“Operasi yang menghasilkan blowback biasanya dirahasiakan dari publik Amerika dan wakil mereka di Kongres. Maka, ketika rakyat sipil (Amerika) yang tak bersalah menjadi korban dari serangan balasan yang dilancarkan pihak lain, awalnya mereka tidak mampu meletakkan serangan itu dalam konteksnya atau tidak memahami kejadian-kejadian sebelumnya yang mendorong aksi pembalasan itu,” tulis Johnson.

Dari sudut pandang ini, Johnson menilai bahwa peristiwa 9/11 sebetulnya merupakan blowback dari operasi rahasia (covert operations) CIA mempersenjatai kelompok mujahiddin Afghanistan dan Muslim militan dari banyak negara untuk menghadapi Uni Soviet dan komunis yang tengah melebarkan sayap di Asia Tengah di era 1980-an.

Sayangnya, kelompok Hawkish dan korporatokrat yang berkuasa di Gedung Putih menggunakan peristiwa 9/11 sebagai alat untuk menjustifikasi aksi polisional mereka ke Afghanistan (2001), lalu Irak (2003). Perang, bagi mereka, telah menjadi industri yang memberikan keuntungan ekonomi luar biasa, sehingga mereka tidak peduli dengan akibat dan kerugiaan yang ditanggung oleh korban di medan perang, orang-orang yang tidak berdosa, dan pemuda-pemuda Amerika yang mendukung patriotisme Amerika secara buta.

Malam itu, ketika Obama menyampaikan pidato politiknya di Konvensi Nasional Demokrat di Colorado, Just Foreign Policy (www.justforeignpolicy.org) mencatat, setidaknya 1.255.026 orang Irak tewas sejak Amerika menginvasi negara itu. Adapun Anti War (www.antiwar.com) memprediksikan tak kurang dari 4.150 tentara Amerika tewas dan sekitar 100 ribu lainnya terluka di medan perang Irak. Selain itu, menurut National Priority Project (www.nationalpriority.org), Amerika telah menghabiskan sekurang-kurangnya 550 miliar dolar AS untuk operasi militer di Irak.

***

Stanley Ann Dunham lahir di Forth Leavenworth, Kansas, 29 November 1942. Ia adalah anak tunggal pasangan Stanley Amour Dunham dan Madelyn Lee Payne. Nama Stanley diberikan ayahnya yang begitu menginginkan anak laki-laki. Sepanjang Perang Dunia Kedua, ayahnya bergabung dengan Angkatan Darat, sementara ibunya bekerja di pabrik pesawat Boeing di Wichita, Kansas. Usai Perang Dunia, keluarga Dunhams pindah ke California, Texas lalu Seattle, Washington. Tahun 1959, keluarga Dunhams memutuskan pindah Hawaii, yang di tahun itu resmi menjadi negara bagian ke-50 Amerika Serikat.

Di Republik Aloha, Stanley Amour bekerja sebagai staf pemasaran di sebuah toko furniture. Adapun Madelyn Lee menapaki kariernya di Bank of Hawaii, hingga tahun 1970 ia menjadi salah seorang wanita yang duduk di kursi wakil direktur. Stanley Amour yang oleh Obama dipanggil Gramps, meninggal tahun 1992 dan dikuburkan di Makam Nasional Punchbowl, di Honolulu. Sementara Madelyn Lee Dunham yang dipanggil Toots hingga kini masih menetap di Honolulu.

Ann Dunham menyusul kedua orangtuanya setalah ia lulus dari Mercer Islands High School di Washington tahun 1960. Begitu tiba di Hawaii dia melanjutkan pendidikan di jurusan antropologi UHM, dimana dia kemudian bertemu dan jatuh cinta dengan Barack Hussein Obama Sr, mahasiswa jurusan ekonomi asal Kenya dari suku Luo yang juga merupakan mahasiswa Afrika pertama yang kuliah di Hawaii ketika itu.

Keinginan Ann Dunham dan Obama Sr. membangun mahligai rumah tangga sempat ditentang kedua keluarga, terutama keluarga Obama Sr. di Kenya. Dalam sepucuk surat, ayah Obama Sr., Onyango Hussein Obama, mengatakan tak rela bila darah keturunannya bercampur dengan darah wanita kulit putih. Tetapi Obama Sr. bersikeras. Pernikahan mereka berlangsung di Pulau Maui tanggal 2 Februari 1961. Tak lama kemudian, 4 Agustus 1961, Obama Jr. lahir di Honolulu.

Tahun 1963 Obama Sr. melanjutkan studi ke Harvard University, di Massachusetts. Ia meninggalkan Ann Dunham dan anak semata wayang mereka yang baru berusia dua tahun. Setelah mendapatkan gelar master bidang ekonomi di tahun 1965, Obama Sr. kembali ke Kenya. Di awal 1970-an, ia sempat menemui Obama Jr. di Honolulu. Itu adalah pertemuan terakhir mereka. Tahun 1982 Obama Sr. tewas dalam sebuah kecelakaan di Kenya.

Tahun 1967, Ann Dunham menikah dengan Lolo Soetoro, mahasiswa jurusan geografi UHM asal Indonesia yang ditemuinya di East West Center (EWC). Di tahun yang sama Ann Dunham dan Obama mengikuti Lolo ke Indonesia. Maya Soetoro-Ng, buah pernikahan Ann Dunham dan Lolo lahir di Jakarta tanggal 15 Agustus 1970. Setahun kemudian, setelah empat tahun menetap di Jakarta, Obama memilih kembali ke Hawaii, melanjutkan sekolahnya di Punahou School di Honolulu.

Pernikahan kedua Ann Dunham juga tidak berlangsung lama. Di tahun 1980 dia dan Lolo sepakat berpisah. Mereka tetap berhubungan baik sampai Lolo meninggal dunia pada Januari 1987.

Jakarta dan Indonesia adalah tempat Ann Dunham memulai karier profesional. Antara Januari 1968 hingga Desember 1969 dia bekerja sebagai asisten direktur Lembaga Indonesia Amerika di Jakarta. Lalu antara Januari 1970 hingga Agustus 1972 dia menjadi salah seorang direktur Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen (LPPM). Salah satu tugasnya adalah mensupervisi penerbitan buku-buku pendidikan dan manajemen.

Tahun 1973 Ann Dunham pulang ke Hawaii bersama Maya untuk menyelesaikan pendidikan master di jurusan antropologi UHM. Tahun 1977 dia kembali ke Jakarta dan bekerja sebagai instruktur di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan setahun kemudian menjadi konsultan di kantor International Labor Organization (ILO) di Jakarta. Antara Oktober 1978 hingga Desember 1980, Ann Dunham menjadi konsultan pembangunan pedesaan USAID di Departemen Perindustrian. Di masa ini, Ann Dunham sering mengunjungi desa-desa terpencil di pedalaman Jawa Tengah untuk membantu kelompok perempuan miskin yang ditemuinya disana.

Selesai dengan USAID, antara Januari 1981 hingga November 1984 Ann Dunham menjadi supervisor program pemberdayaan perempuan dalam pembangunan di kantor Ford Foundation Asia Tenggara di Jakarta. Bersama, antara lain, Dr. Pujiwati Sayogyo dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Ann Dunham mengembangkan proyek penelitian mengenai perempuan di sektor pertanian.

Antara 1986 hingga 1987 Ann Dunham bekerja sebagai konsultan pembangunan pedesaan di Pakistan. Dalam program yang dibiayai Asian Development Bank (ADB) itu dia ikut mendesain skema mikrokredit untuk perempuan dan perajin di provinsi Gujranwala.

Tahun 1988 Ann Dunham kembali ke Indonesia. Kali ini ia menjadi koordinator riset dan konsultan di Bank Rakyat Indonesia (BRI). Sebagai konsultan, Ann Dunham ikut melatih karyawan BRI di tujuh provinsi, membantu menyiapkan skema mikrokredit bagi masyarakat miskin, menganalisa data, hingga memberikan rekomendasi kepada pimpinan BRI. Dia menyelesaikan tuganya di BRI tahun 1992. Di tahun yang sama dia kembali ke Hawaii untuk mempertahankan disertasinya.

Setelah menggondol gelar PhD bidang antropologi, tahun 1993 Ann Dunham menjadi koordinator riset dan kebijakan Women’s World Bank (WWB) di New York. Ia ikut menyiapkan program pengembangan kebijakan dengan 52 lembaga internasional di 40 negara Asia, Afrika dan Amerika Latin yang berafiliasi dengan WWB. Ann Dunham juga berperan dalam Konferensi Wanita yang diselenggarakan PBB di Beijing bulan September 1995.

Menjelang ulang tahunnya yang ke-53, tanggal 7 November 1995 Ann Dunham meninggal dunia karena kanker ovarian. Ketika Ann Dunham menghembuskan nafas terakhir, Obama tak berada di sampingnya. Ia sedang berada di Chicago, berkampanye untuk mendapatkan posisi publik di kota itu. Obama tiba di Honolulu setelah tubuh ibunya dikremasi.

Dalam memoirnya, Obama mengenang ibunya sebagai wanita yang tangguh, pekerja keras yang memiliki kepedulian kepada sesama manusia, bersahabat, dan family-woman.

“Sepuluh tahun terakhir dalam hidupnya dihabiskan untuk mengerjakan hal-hal yang disenanginya, berkeliling dunia, bekerja di pedalaman Asia dan Afrika, membantu wanita membeli mesin jahit, atau susu sapi, atau membantu pendidikan yang dapat jadi pegangan hidup mereka. Dia mengumpulkan teman, baik yang berasal dari kelas sosial tinggi maupun rendah, berjalan jauh, memandang bulan, menyusuri pasar tradisional di Delhi atau Marrakesh. Dia menulis laporan, membaca novel, mendorong anak-anaknya, dan memimpikan kehadiran cucu,” tulis Obama.

Pada suatu pagi tak lama setelah tubuh Ann Dunham diperabukan, bersama kerabat dan teman-teman dekat keluarga Dunhams, Obama dan Maya menyebarkan abu ibu mereka di pantai selatan Pulau Oahu. Angin meniup abu itu ke tengah Samudera Pasifik, ke arah Indonesia.

Honolulu,

2 September 2008